Seminar Ekonomi Islam

 “Perbandingan Zakat dan Pajak:

Dilihat dari aspek fungsi, distribusi dan alokasi pada masyarakat heterogen”

(BACKGROUND)

 oleh: M. Rasyid Ridlo* 

Mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam, dengan presentasinya hampir mencapai 90 persen. Jika pada Maret 2009 Biro Pusat Statistik (BPS) menerbitkan data penduduk miskin 32,53 juta atau sekitar 14,15% dari total penduduk Indonesia, yang sudah dapat dipastikan pula, bahwa mayoritas dari penduduk miskin tersebut beragama Islam. Oleh karena itu, segala kebijakan pemerintah pada sektor pemberdayaan masyarakat, akan sangat bermanfaat bagi ummat Islam Indonesia.

Di dalam Islam, upaya mendistribusikan zakat sebagai cabang dari rukun Iman, sangatlah fundamental untuk direalisasikan oleh ummat Islam. Begitu juga dengan mengakomodir dan melembagakan instansi zakat secara yuridis formal, yang jelas akan dirasakan implikasinya oleh ummat Islam.

Zakat dalam konteks kontemporer telah mengalami reformasi konsepsi operasional zakat. Dewasa ini, zakat tidak hanya didistribusikan pada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) saja yang diartikan secara sempit. Namun konsepsi ini telah dikembangkan cakupannya dengan mengikutsertakan segala kegiatan produktif, yang tentunya sebagai upaya meminimalisir kuantitas penduduk miskin. Dan dalam pelaksanaan operasionalnya harus didukung secara multidimensional, baik aspek politik, hukum, kebudayaan, dan aspek lainnya yang terkait.

Aspek lain yang penting dan harus diberdayakan dalam pengelolaan zakat adalah motor penggerak, yakni amil zakat atau badan pengelola zakat. Amil zakat mengembangkan tugas yang luas dan kompleks yang meliputi tugas sebagai pemungut, penyalur, koordinator, organisator, motivator, pengawasan, dan evaluasi tentang zakat.

Instansi amil zakat ini harus melakukan studi kelayakan terhadap mustahiq sebelum modal diserahkan kepada mereka, seperti beberapa penelitian mengenai keadaan calon penerima modal, integritas moralnya, sampai pada jenis usaha yang akan dilakoni, supaya jelas dan terarah mengenai income dan produktifitasnya.

Pengembangan zakat sebagai upaya produktif mutlak diperlukan, juga mesti direalisasikan secara kontinyu. Karena posisi zakat adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan dalam mewujudkan keadilan sosial, mengentaskan kemiskinan, dan memberdayakan ekonomi masyarakat. Untuk menegakkan keadilan sosial tersebut, diperlukan sebuah formulasi pemikiran juga analisis yang tajam untuk merealisasikan zakat dengan cara yang update, tidak kuno, komprehensif, karena zaman yang terus berkembang pemikirannya.

Gerakan zakat adalah gerakan kemanusiaan yang menitikberatkan kepada kesejahteraan bersama, dan implikasinya pada kondisi masyarakat sebagai upaya mempercepat pembangunan dan pembinaan sumber daya dikalangan ummat Islam yang notabene memegang peran penting bagi terciptanya kebangkitan ummat Islam.

Namun dikarenakan dewasa ini, penduduk di Indonesia tidak hanya dipeluk oleh orang muslim saja, yang menjadikan zakat dianggap hanya peraturan religi, bukan atas kesadaran sosial. Ini menjadikan kendala bagi regulasi zakat di suatu negara yang heterogen. Namun pada prinsipnya, Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, yang bisa dirasakan dan dinikmati oleh seluruh ummat manusia, perlu ditegaskan peran dan fungsi dari satu hukum – zakat –bahwa itu hukum general, dan bagi ummat diluar Islam dikenal dengan pajak.

* Penulis adalah Mahasiswa S1 Jurusan Ilmu Ekonomi Islam di STEI Tazkia, Sentul City, Bogor.