oleh: M. Rasyid Ridlo*)
Data and Information Departement
Data and Information Departement
Muqaddimah
Akhir-akhir ini, fenomena ppencemaran Islam melalui
pemikiran begitu nampak di permukaan. Ini dilakukan oleh tren fanatisme
pemikiran yang menghasilkan sikap ekstrim dalam beragama. Ini, secara tidak
langsung, telah menghambat simultansi dakwah untuk membangun peradaban Islam
yang lebih kokoh dan bermartabat. Tren Fanatisme tersebut sekurang-kurangnya
terbagi ke dalam dua model, rasionalis-liberal dan reformis-revivalis . Yang
pertama melandaskan pemikirannya pada konsep keilmuan asing (baca: Barat)
sehingga menghasilkan ide-ide rasionalisasi dan liberalisasi agama Islam. Pada
gilirannya, Islam sepertinya mau dijadikan agama yang bernasib sama seperti di
Barat pada abad pertengahan lalu. Alih-alih ingin melakukan intrepretasi Islam
dalam rangka kontekstulisasi, justru, yang terjadi adalah, meminjam istilah M.
Natsir, “Likuidasi Islam”.
Sedangkan yang kedua, aktivismenya menyandarkan pada cara
penafsiran teks-teks wahyu dan hadits dengan rigid dan apa adanya, serta kurang
bijaksana membaca realitas sosial. Sikap yang terakhir ini setidaknya telah
memperlebar kesenjangan antar umat Islam karena semangat puritanisme (pemurnian
aqidah) yang, dalam metode dakwahnya, kaku dan “beringas” sehingga menimbulkan image keras serta kurang mampu
berkomunikasi dengan modernitas. Bahkan pola takfir terhadap orang atau
sekelompok orang yang berselisih faham menjadi ciri khasnya. Secara diametral,
faham Rasionalis-liberal dan Reformis-revivalis memiliki arah yang bersinggungan.
Masing-masing berada pada dua sisi kutub yang berlawanan dan berdampak pada
kerancuan dan perselisihan serta disintegrasi dalam tubuh umat yang hampir
sulit terelakkan.
Gambaran di atas menuntut para cendikiawan Muslim untuk
segera mengambil sikap pro-aktif dan tegas terhadap kedua model fanatisme dan
ekstrimisme tersebut. Adalah Mohammad Natsir, seorang cendikiawan Muslim yang
masa hidupnya syarat aktivitas dakwah yang membawa umat pada keshalihan, tidak
saja dalam bersikap, tapi yang tak kalah penting adalah dalam berpikir.
Ketokohan sang pendiri DDII ini patut dijadikan role model dalam berdakwah dan
berislam di kehidupan sosial. Sikapnya yang tegas dalam hal Aqidah dan santun
dalam bermuammalah menjadikannya sebagai orang yang sangat diperhitungkan dalam
sejarah keislaman dan kemerdekaan Indonesia. Makalah ini mencoba untuk
menunjukkan bahwa solusi dari problematika umat Islam adalah melakukan
reorientasi pemikiran Islam dengan mengacu kepada pemikiran keagamaan,
kenegaraan, dan konsistensi Mohammad Natsir dalam berdakwah.
Karir Intelektual dan Pergerakan M. Natsir
Mohammad Natsir yang memiliki nama pena Muchlish lahir dari
seorang ayah bernama Idris Sutan Saripado dan ibu Khadijah pada 17 Juli 1908 di
Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera
Barat. Natsir memulai pendidikan dasarnya di Holland Inlandse School (HIS) pada
tahun 1916-1923 dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada tahun 1923-1927
di Padang Sumatera Barat. Mulai mengenal dunia pemikiran dan pergerakan pada
saat Natsir melanjutkan sekolahnya di Algemene Middelbare School (AMS setingkat
SMA sekarang) di Bandung selama tiga tahun (1927-1930).
Pendidikan agamanya ia dapatkan dari luar lembaga-lembaga
pendidikan formal. Paginya ia sekolah sedangkan pada sore dan malamnya ia
gunakan untuk menimba ilmu agama. Semua ini ia lakukan semenjak sebelum
kepindahannya ke tanah Sunda, kota Bandung. Di sana ia bertemu seorang tokoh
pergerakan Persatuan Islam (PERSIS) Bandung, A. Hasan. Selanjutnya, tokoh
PERSIS inilah yang memengaruhi pemikiran Natsir seputar keilmuan agama Islam.
Kedekatan M. Natsir dengan A. Hasan dapat dicermati dari keikutsertaannya
menjadi redaksi majalah Pembela Islam yang dikomandoi oleh A. Hasan sendiri.
Keakraban Natsir dengan tokoh pembaharu ini telah membuatnya concern terhadap
dunia Islam. Dari sinilah keinginan berjuang melalui jalur dakwah terus membara
hingga pada perjalannya Natsir mendapati rintangan dan ujian yang tidak ringan.
Dari sini pulalah Natsir memulai karir intelektual dan organisasinya dengan
menjadi seorang negarawan, pendakwah, pendidik, pemikir, sekaligus politikus.
M. Natsir kala berda'wah di Bandung |
Interakasi Natsir yang sangat intens dengan beberapa tokoh
di atas membuktikan bahwa ada kombinasi yang spektakuler antara jiwa
keberagamaan dan kenegaraan yang kuat dalam diri Natsir. Sikap kenegarawanannya
yang baik, membuatnya mampu mempersatukan kembali wilayah NKRI dengan Mosi
Integralnya. Ini semua ia landasi dengan kapasitasnya sebagai seorang ulama.
Karakter seperti inilah yang dibutuhkan umat jaman sekarang, ia mampu menjadi
seorang agamawan yang intelek yang mengerti dan memahami kebutuhan duniawi tanpa
harus keluar dari pemahamannya yang komprehensif terhadap agama Islam. Bukan
seorang intelek yang mengerti agama yang pada gilirannya agama hanya sebagai
objek kajiannya sehingga berakhir pada sikap dualistis. Point penting dari
karakteristik pemikiran tokoh yang bergelar Datok Sinaro Pandjang ini adalah,
ia mampu mengamalkan sabda kanjeng Rasulullah Muhammad yang menyatakan bahwa
umatnya lah yang lebih mengetahui urusan dunia tanpa harus merasa lebih tahu
tentang urusan akhiratnya dari pada Rasulullah.
Karakter Pemikiran Keagamaan M. Natsir
Berpikir dalam Islam melibatkan potensi akal yang dengannya
wahyu menjadi dasar aktivitasnya yang pada perjalannya melahirkan konsep
berpikir Islami. Inilah yang menjadi archetype pemikiran dalam Islam, ia tidak
bebas dari nilai (free-value). Pemikiran sejatinya merupakan asas dari segala
bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Perekonomian sebuah negara akan maju apabila pemikiran pemimpinnya, yang
selanjutnya melahirkan kebijakan-kebijkan ekonomi, memiliki keberpihakan kepada
sektor riil dan rakyat kecil. Begitupun dengan bidang politik, sosial, dan
budaya, semuanya tergantung kepada tipe dasar pemikiran yang dianut. Fakta
menyebutkan bahwa kondisi umat Islam saat ini cukup memprihatinkan, jauh dari
pengalaman peradaban Islam masa lalu yang superioritasnya disegani peradaban
lain. Ini menunjukan bahwa umat Islam harus segera melakukan pembenahan
mendasar yakni pembenahan pemikiran.
Hal inilah yang diwanti-wanti oleh seorang pakar peradaban dan
pemikiran Islam, Hamid Fahmy Zarkasyi. Ia menyebutkan bahwa biang dari sekian
banyak persoalan yang timbul dalam bidang-bidang tersebut ternyata bersumber
pada problem pemikiran, baik datang dari eksternal maupun internal umat Islam.
Menurutnya, problem eksternal berupa asupan pemikiran asing (baca: Barat) ke
dalam wacana pemikiran keagamaan Islam yang pada perjalanannya menghasilkan
konsep liberalisme, sekularisme, pluralisme agama dan lain sebagainya. Adapaun
problem internal berupa kejumudan, fanatisme, taqlid, dan bid’ah khurafat yang
pada gilirannya mengakibatkan “lemot” dan sembrono-nya
proses ijtihad dalam merespon tantangan kontemporer dan tumbuh suburnya
harokah-harokah (aktivisme) yang megatasnamakan madzhab tertentu.
Kedua problem tersebut dapat ditemukan jawabannya pada
pemikiran keagamaan M. Natsir.
Ia yang berlatarbelakang pendidikan agamanya di
PERSIS dan pergerakan pemuda JIB mampu menghalau pemikiran-pemikiran dengan
kecenderungan westomaniak yang rasionalis-liberal sekaligus fanatisme yang
mengarah kepada ekstrimisme dalam beragama. Latarbelakang Natsir, sebagaimana
dijelaskan di atas, setidaknya telah membawanya sebagai seorang tokoh yang
menjunjung tinggi nilai-nilai Islam di segala lini kehidupan, termasuk politik dan
penerimaannya terhadap negara demokrasi berdasarkan Islam. Suatu hal yang
sangat tidak direstui oleh mereka yang anti-agama (sekular) begitupun oleh
mereka yang anti-demokrasi yang diklaim sebagi produk kafir. Inilah salah satu
bukti bahwa beliau berada pada sikap I’tidal (tengah) yang menurut Al-Qaradhawi
sebagai ciri khas sikap Islam.
Bagi Natsir, Islam adalah agama yang telah jelas membagi
wilayah mana yang boleh dan tidak boleh dipikirkan oleh umatnya. Natsir
memanfaatkan akal merdekanya tapi tidak untuk mengakali (baca: rasionalisasi)
agamanya, dan mematuhi wahyu ilahi tapi tidak sama sekali menafikan keberadaan
akal. Dalam bukunya Islam dan Akal Merdeka, Natsir mengkritik cara berpikir
Barat sekaligus cara berpikir fanatis dengan menyebutnya sebagai kuman-kuman
yang harus dibersihkan dari dalam tubuh umat. Untuk merespon pola pikir
tersebut, Natsir memegang prinsip (qaidah ushuliyah) yang mengatakan bahwa
dalam urusan keduniaan semua boleh kecuali yang terlarang dan dalam urusan
agama semua terlarang kecuali yang diperintahkan.
Untuk masalah keduniaan,
Natsir mengatakan:
"Dalam urusan keduniaan yang 100% ini yang mungkin sudah ada dan mungkin akan timbul belakangan, -semua itu boleh, kecuali yang sudan terlarang oleh agama. Yang terlarang itu amat sedikit, bila dibandingkan dengan yang boleh. Dengan demikian maka akal memiliki ruang gerak yang amat luas. Bukan saja ia dibolehkan, malah disuruh, malah digemari oleh agama memegang inisiatif untuk kebaikan dan keselamatan kita".
Sedangkan masalah agama, ia mengatakan:
“Tak ada hak kita mengubah, menambah atau menguranginya, dengan akal kita sendiri. Di bidang ibadah ini, semua terlarang, kecuali yang sudah disuruh”
Dari pernyataan di atas, Natsir ingin menjelaskan bahwa ada
batas embarkasi yang jelas yang harus ditaati oleh setiap intelektual muslim
ketika bebicara masalah wacana pemikiran keagamaan. Ada hal-hal yang bersifat
Tsawabit (tetap) dan Mutaghayyirot (berubah-ubah). AdaAda bidang Tauhid yang
sudah jelas ketetapan perintah-perintahnya, ada pula bidang Mu’ammalah yang
meniscayakan kreativitas dan inisiatif seorang muslim menuju kelebihbaikan.
Karakter pemikiran M. Natsir ini tidak terbatas pada
retorika saja, melainkan terejawantahkan dalam kehidupan sosialnya dalam
beragama, berpolitik, dan bernegara. Natsir tidak sungkan-sungkan duduk dan
berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh komunis sekalipun yang jelas tidak beragama
(atheis).
a. Toleransi Beragama tidak harus jadi Pluralisme Agama
Bebicara masalah respon Islam terhadap fenomena
heterogenitas agama telah menjadi ajang perdebatan yang hampir tak berujung,
khususnya pasca keruntuhan menara kembar WTC 9/11 yang lalu. Banyak orang
Barat, bahkan orang muslim sendiri, yang sekeptis terhadap Islam, dengan
menyatakan dan mengakui bahwa Islam adalah agama ekstrim dan intoleran. Yang
paling mencengangakan dari pemikiran-pemikiran mereka adalah ide liberalisasi
Islam dengan mengusung konsep Pluralisme Agama. Yang diinginkan dari ajaran ini
adalah mencoba mendudukkan konsep kebenaran dalam Islam sejajar dan bahkan sama
dengan konsep kebenaran dalam agama-agama lain. Pluralisme Agama ini muncul
dari cara berpikir relativisme, bahwa semua kebenaran adalah relatif termasuk
kebenaran agama. Bahwa satu agama tidak berhak mengklaim kebenarannya secara
sepihak (truth claims) yang, menurut faham ini, dapat mengakibatkan penindasan
dan bahkan peperangan atas nama agama. Situasi seperti ini, menurut Hamid,
merupakan proses peleburan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam ke
dalam arus pemikiran Barat.
Menghadapi realitas keberagaman tersebut, Natsir punya
pengalaman tersendiri berhadapan dengan orang yang melakukan kontekstualisasi
Islam dengan melakukan interpretasi (penafsiran ulang-pen). Ia mengatakan bahwa
tindakan tersebut tidak lebih dari upaya “likuiadasi (peleburan-pen)
agama Islam dengan agama lain. Ia dengan tegas menyatakan ketidaksepakatannya
atas ide-ide penyamaan agama-agama hanya karena ingin mengedepankan sikap
toleransi. Toleransi baginya tidak harus meleburkan diri ke dalam
agama-agama yang berbeda seperti yang dilakukan oleh para penganut theosofie.
Tapi tidak pula harus menjauh dan bersitegang dengan komunitas agama-agama lain
(intoleransi), justru seorang muslim harus mampu berkomunikasi dengan mereka.
Semua ini beliau buktikan, salahsatunya, ketika kedekatannya dengan seorang
tokoh sekaligus ketua Partai Katolik, IJ. Kasimo, dalam urusan kenegaraan dan
menghadapi prilaku opensif PKI di jaman Sukarno.
Pemikiran Natsir tentang toleransi dapat dilacak dalam
beberapa tulisannya yang menyatakan bahwa toleransi dalam Islam bersumber dari
Al-Qur’an. Ia menambahkan bahwa toleransi tersebut tidak bersifat pasif tapi
aktif memperjuangkan kemerdekaan beragama, bukan bagi agama Islam saja, akan
tetapi juga bagi agama-agama lain. Natsir menegaskan :
"Al-Qur’an dengan demikian mengajarkan kepada penganutnya agar menghargai dan menjunjung tinggi keyakinan dan pendirian sendiri dengan sungguh-sungguh, yang disertai menghargai hak pribadi orang lain untuk berbeda paham dengannya".
Kemudian, tambah Natsir:
“Ini adalah setinggi-tingginya bentuk toleransi, yang umat manusia kini masih dalam memperjuangkannya di dalam negara-negara modern sekarang ini.”
Makna lain dari “toleransi aktif” dalam
pandangan Natsir, selain memperjuangkan kemerdekaan beragama, adalah dakwah ke
jalan kebenaran Islam. Berangkat dari pedoman Al-Qur’an , “tiada paksaan dalam
agama, Natsir memaknai toleransi aktif dengan mengajak dan memanggil
(dakwah) siapa saja yang berbeda faham atau agama untuk beriman kepada Allah
SWT Yang tiada Tuhan selain-Nya dengan syarat bersih dari sifat memaksa. Dalam
hal ini M. Natsir senantiasa mengutip beberapa ayat Al-Qur’an, salah satunya
adalah tentang cara-cara berdakwah yang santun, sopan, dan teratur, yakni: “ad-da’wah
bi Al-Mau’idhoh Al-Hasanah wa al-Mujadalah bi Al-Lati hiya ahsan (berdakwah dengan kebijakasanaan dan berdebat dengan santun).
Dengan begini, menurut Natsir, Islam yang rahmatan
lil-alamin dapat dirasakan pula oleh kelompok atau golongan lain di luar Islam.
Untuk mendukung atas terwujudnya toleransi dalam Islam, Natsir memberikan
langkah-langkah konstruktif sebagai berikut:
- Memahami ajaran Islam bagi diri masing-masing dengan sungguh-sungguh
- Menjadikan ajaran ini sebagai pakaian hidup: dalam berkata, bertindak, dan berlaku terhadap masyarakat di kelilingnya, sesuai dengan ajaran tersebut.
- Memancarkan pengertian ini di sekelilingnya dengan tidak membelakangkan agama dan kepercayaan manapun jua, dengan lisan dan sikap perbuatan.
Sebagai bentuk kemantapan hati atas ajaran tasamuh
(toleransi) dalam Islam dan sikap demokratis, Natsir seringkali, dalam
tulisannya, menantang masyarakat untuk menunjukkan ideologi mana yang mampu
melampaui ketegasan konsep toleransi Islam.
b. Demokrasi Teistis, bukan Teokrasi juga bukan Sekuler
Dalam konteks keindonesiaan, tantangan partai politk Islam
berasal dari dua arah yang berlawan, eksternal dan internal sekaligus.
Tantangan eksternal berupa gerakan sekularisasi yang menghajatkan keterpisahan
antara urusan duniawi dan ukrawi. Sedangkan tantangan internal bergerak dalam
bentuk penolakan terhadap sistem kekuasaan Demokrasi yang, menurutnya, partai-partai
Islam terlahir dari rahimnya. Penomena di atas setidaknya telah menghambat
agenda dakwah yang menjadi strategi partai-partai Islam dalam menghadapi
realitas sistem demokrasi di Indonesia. Bermunculannya partai-partai Islam di
tengah kancah perpolitikan tanah air, sejatinya merupakan solusi logis untuk
membawa umat keluar dari perangkap keterpurukan. Paling tidak inilah gambaran
singkat situasi perpolitikan di negara kita.
Sebagai tokoh negarawan yang mencintai tanah airnya, Natsir
memiliki pandangan politik yang dikenal santun dan bermartabat. Karakter
keberagamaannya tidak membuat Natsir memisahkan diri dari “taqdir demokrasi” sebagai realitas politik RI saat itu. Jihad politiknya mengangkat
nilai-nilai Islam sebagai dasar negara ia lakukan melalui jalur-jalur
demokratis. Menjadi seorang ketua partai Masyumi (1949-1958), akomodatif
terhadap Pancasila, setia kepada Proklamasi, dan concern terhadap konstitusi
negara adalah stategi dakwah Natsir di dunia Politik. Sikap politik Natsir
tersebut, selain tidak membuatnya setuju dengan gagasan sekularisasi politik,
juga tidak ada bertujuan untuk membangun negara dalam bentuk teokrasi (negara
agama). Menurutnya, sekularisme merupakan “paham, tujuan dan sikap hanya dalam
batas hidup keduniaan, sedangkan teokrasi adalah “suatu sistem
kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem
kependetaan) yang mempunyai hirarki (tingkat bertingkat) dan menjalankan
pemerintahan bagi wakil Tuhan di dunia.”
Prihal penolakannya terhadap negara sekuler (la
ad-diniyyah), menurut penulis, justru lebih serius ketimbang ketidaksetujuannya
mendirikan negara teokrasi yang, menurut Natsir, tidak dikenal dalam ajaran
Islam. Seraya mengutip pendapat Rauschning, Natsir menjelaskan bahwa dampak
dari sekularisme adalah munculnya sikap tidak peduli dan tidak menghormati
tuntunan-tuntunan adab (nilai-nilai hidup) dan mengenyampingkan ajaran-ajaran
agama.
Yang Natsir inginkan adalah sebuah negara demokrasi yang
berlandaskan pada ajaran agama Islam seperti istilahnya yang terkenal Teistik
Demokrasi. Istilah ini pertama kali ia sebutkan pada saat sidang Majelis
Konstituante, 12 November 1957 . Ini menggambarkan, menurut Sarifuddin HA,
bahwa gagasan-gagasan Natsir tentang Islam dalam bernegara dapat menerima
kaidah-kaidah sekular (reason, institution, experience), lalu Islam
melengkapinya dengan wahyu.
Tapi perlu dicatat, bahwa sikap yang ditampilkan Natsir tersebut
bukan berarti berangkat dari ketidakpahamannya atas sejarah kemunculan slogan
Demokrasi. Secara historis, demokrasi tetap identik dengan liberalisme Barat
yang memosiskan suara rakyat tak ubahnya suara Tuhan (vox populi vox dei). Apa
yang dilakukan Natsir, menurut Bustanudin Agus , adalah untuk memperjuangkan
nilai-nilai dan ajaran Islam tersebut dalam kehidupan bernegara agar tidak
terjerumus kepada krisis yang diderita oleh masyarakat sekuler.
Termasuk sikap akomodatifnya terhadap dasar negara Pancasila
bukan tanpa catatan dan syarat-syarat. Dalam ceramahnya pada peringatan
Nuzulul-Qur’an, Mei 1954, ia mengatakan: “Pancasila adalah suatu perumusan dari
lima kebijakan, sebagai hasil permusyawaratan antara pemimpin-pemimpin kita. Ia,
sebagai perumusan, tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, kecuali kalau diisi
dengan apa-apa yang memang bertentangan dengan Al-Qur’an. Jadi, dukungannya terhadap Pancasila akan tetap dipertahankan apabila
dalam proses perjalannya Pancasila tidak bertentangan dengan Al-Qur’an
yang melahirkan gerakan sekularisasi politik.
Dalam rangka politik dakwah, Natsir telah mengerahkan
segenap potensi pemikirannya untuk memberikan contoh konkrit kepada generasi
penerusnya untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dengan bijaksana dan
bermartabat dalam konstalasi sosoal-politik. Natsir, sebagai idiolog sekaligus
politikus muslim, tidak menceburkan diri terlalu dalam di dunia politik
demokrasi tapi tidak pula menjauhkan diri terlalu jauh dari realitas
kehidupannya, sebuah prinsip yang baginya sebagai point of no return. “Alam” inilah yang membuat Natsir dihargai dan disegani oleh lawan
sekalipun.
Khatimah
Berdakwah dengan hikmah kebijaksanaan dan cara-cara yang
baik (Al-Mau’idhoh Al-Hasanah) menjadi kata kunci kesuksesan dalam memenuhi
tugas suci, amar makruf nahyu munkar. Sekalipun harus berdebat, berdebatlah
dengan sebaik-baiknya perdebatan. Inilah yang dilakukan Mohammad Natsir dalam
mengarungi aktivitasnya sebagai seorang agamawan sekaligus sebagai negarawan
yang baik. Pemahamannya yang holistis terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam
telah membuatnya terpanggil untuk ikut andil dan berperan mempersatukan kembali
NKRI dari keterceceran yang mengancam keutuhannya. Tidak berhenti sampai di
situ, karya-karya Natsir pun ternyata tidak saja dirasakan di dalam negeri,
akan tetapi di dunia Islam internasional. Terbukti dari keterlibatannya dalam
ormas-ormas Islam internasional.
Sikap M. Natsir yang tidak “kekiri-kirian dan tidak “kekanan-kanakan membuatnya
dapat diterima oleh setiap kalangan. Kondisi seperti ini Natsir manfaatkan
untuk melakukan infiltrasi dakwah dan menyatukan umat. Inilah cara Natsir
membangun peradaban dengan ilmu pengetahuan tidak dengan emosional atau
rasional saja, tapi memberdayakan setiap potensi yang dimilikinya. Wal-hasil,
walaupun sampai sekarang cita-cita Natsir belum sempurna terwujud, adalah tugas
generasi penerusnya untuk melanjutkan perjuangannya. Semoga, dengan adanya DDII
yang telah didirikannya sejak 1967, perjuangan Natsir bisa rampung dengan
sempurna. Amin.
Sumber :
Negara dan agama di mata M Natsir, sulaimanism,
http://sulaimanism.multiply.com/journal/item/47
0 komentar:
Post a Comment