Ditulis oleh: Rasyid Ridlo*)
Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti, trimakasihku untuk pengabdianmu.
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan,
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa
(Sartono)
Melihat, mendengar, dan membaca hymne guru diatas tentunya memiliki makna yang sangat mendalam dan menyentuh bagi para guru maupun murid. Kata orang, “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Namun ada sesuatu yang mengganjal pikiran saya mengenai eksistensi seorang guru pada zaman ini, masih relevan-kah predikat guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”? Mengingat memang perjuangan mereka yang tak kenal lelah dalam mengorbankan waktu bahkan tenaga demi masa depan para pewaris bangsa, Negara dan tentunya Agama.
Dari hymne diatas, guru disanjung dan dipuja luar biasa karena diibaratkan sebagai pelita dalam kegelapan, sebagai embun penyejuk dalam kehausan, dan sebagai patriot pahlawan bangsa. Namun apakah cukup hanya berhenti pada sekadar sanjungan dan pujian? Terlebih di akhir bait lagu tersehut dikatakan guru adalah patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa. Cukupkah seorang guru hanya diberi gelar “Pahlawan tanpa tanda jasa” dizaman yang penuh dengan nuansa materialistis ini?
Di zaman yang semakin susah ini, orang tidak akan mampu hidup hanya dengan sanjungan dan pujian. Gelar “pahlawan tanpa tanda jasa” tidak akan mampu memberi hidup yang layak bagi mereka, bahkan justru membebani; yang dibutuhkan bukan sekadar sanjungan atau pujian atau gelar, lebih pada perhatian dan penghargaan atas suatu pengabdian yang begitu luar biasa.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana ceritanya seorang guru diberi gelar tersebut dan kaitannya dengan realitas sekarang ini? Sepengetahuan penulis, guru diberikan gelar tersebut ketika dulu sosok seorang guru yang belum sebanyak saat ini. Mereka yang berani mengambil langkah puluhan kilometer demi mengajar, walaupun banyak pula murid yang sama demikian. Ditambah dengan pendapatan yang tidak besar bahkan kekurangan dari segi materi. Sungguh ironis. Disaat suatu bangsa bisa berdiri tegak dan kuat, mereka lupa bahwa ada sosok guru dibalik keberhasilan bangsa tersebut.
Tidak akan pernah ada pemimpin dunia tanpa seorang guru. Takkan pernah ada peradaban bila tidak ada guru didalamnya. Guru adalah pelita. Guru adalah pusaka. Guru bagaikan cahaya. Hanya tinggal kita saja, para muridnya yang mengambil sikap dan langkah “kanan” atau “kiri”. Tapi itu bukan salah mereka.
(Rasyid)
Tidak ada satu negarapun di dunia ini yang memiliki pemimpin yang sudah hebat dari sejak ia lahir. Ia akan selalu membutuhkan seorang guru. Guru ini bermakna luas. Guru ini tidak hanya mereka yang datang menggunakan sepeda butut, sepatu kucel, baju hanya itu-itu saja. Tapi esensi guru adalah pengajar, pemberitahu, pemberi ilmu. Bahkan orangtua kita pun sebenarnya adalah guru kita. Kita bisa mengambil pelajaran dari adik kelas kita. Kita bisa mengajarkan sesuatu kepada orangtua kita.
Disaat posisi guru mengalami degradasi materi, pemerintah Indonesia melakukan uji materi UU Sisdiknas tahun 2003 dan memulai sebuah program bernama sertifikasi guru yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan masyarakat Indonesia. Apa itu sertifikasi??
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi dengan mengacu pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Bagi guru yang lulus sertifikasi berhak menerima tunjangan profesi pendidik sebesar satu kali gaji pokok yang dibayarkan melalui Dana Alokasi Umum terhitung mulai bulan Januari tahun berikutnya setelah memperoleh sertifikat pendidik.
Intinya, sertifikasi guru ini sebagai langkah pemerintah Indonesia menyejahterakan guru demi tercapainya mutu pendidikan Indonesia yang baik. Kesejahteraan disini bermakna materi (baca: duit). Asumsinya, bila guru sejahtera, maka kinerja guru akan makin baik. Dengan kinerja baik, maka pendidikan pun akan berjalan optimal. Bila pengajaran dan pendidikan berjalan normal, maka peserta didik pun akan berprestasi baik.
Namun nampaknya pemerintah lupa beberapa hal. Pertama, factor penentu keberhasilan mutu pendidikan suatu Negara BUKAN hanya ditentukan oleh kesejahteraan materi seorang guru. Diperlukan pula sebuah madrasah akhlaq bagi para guru. Karena dewasa ini banyak diberitakan bahwa program sertifikasi guru itu bukannya malah membuat kinerja mengajar semakin baik, justru sebaliknya. Ini berkaitan erat dengan etika (akhlaq) guru itu sendiri dalam menyikapi pemberian dana hibah tersebut.
Kedua, kurang atau bahkan tidak efektifnya sistem penetapan ujian sertifikasi dengan format portofolio. Buktinya sudah menjadi barang umum bahwa ujian sertifikasi diwarnai dengan plagiatisme. Dan banyak lagi poin-poin mengenai catatan sertifikasi sebagai langkah perbaikan mutu pendidikan di Indonesia.
Hal yang ingin saya bahas disini adalah mengenai eksistensi dan tanggungjawab seorang guru dengan label “pahlawan tanpa tanda jasa” itu. Suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar, label tersebut akan selalu menempel dalam seorang guru (baca: guru sekolah/madrasah).
Bila didunia agamis (baca: pesantren) mungkin posisi guru masih mendekati dengan label pahlawan tanpa tanda jasa itu, walaupun sekarang program sertifikasi sudah merambah ke dunia madrasah (MI, MTs, dan MA). Bukan berarti pula di sekolah umum jauh dari harapan pemerintah khususnya yang justru malah memperburuk citra guru itu sendiri.
Beberapa waktu kebelakang, kita dikejutkan dengan berita pencabulan guru di salah satu sekolah internasional di Jakarta. Banyak juga oknum-oknum guru yang memandang anak didiknya sebagai lahan menghasilkan uang demi kepentingan mereka sendiri dan komunitasnya. Bahkan tak jarang biaya sekolah pun menjadi sangat mahal yang secara otomatis akan menyeleksi orang-orang yang tidak mampu dalam membayar uang sekolah.
Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah di manakah posisi guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? Apakah karena mereka kian membantu memberikan jawaban Ujian Nasional kepada anak didiknya? Atau mereka yang lebih suka memakan gaji buta tanpa memberikan pelajaran kepada muridnya? Atau bahkan mereka yang dengan bangganya menodai (mencabuli) kesucian anak didiknya sendiri?
Guru adalah sebuah profesi di bidang pendidikan. Peran guru memang penting demi kemajuan bangsa yang dimulai dari bidang pendidikan hingga bidang-bidang yang lainnya. Terlepas dari pandangan tepat tidaknya predikat “pahlawan tanpa tanda jasa” tersebut, masih banyak hal lain yang bisa diambil hikmahnya dari tugas seorang guru.
Peran moral dan sosial adalah salah satu hal yang tak lepas dari guru. Ketika seseorang telah berkomitmen untuk menjadi seorang guru, maka dia juga harus siap untuk menjadi teladan bagi murid-muridnya, baik dari segi pengetahuan ataupun akhlaknya. Selain itu, dia juga harus bisa mewariskan cita-cita luhur para pahlawan bangsa, yang telah gugur, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tertera di Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itulah kita juga harus yakin bahwa tak semua guru pada zaman seperti saat ini hanya mementingkan kepentingan pribadinya saja. Masih banyak sekali orang-orang yang berprofesi sebagai guru dan tetap menjalankan amanahnya sebagai pribadi yang ikhlas dalam mengamalkan ilmunya bahkan rela menghabiskan waktu mereka demi mendapatkan anak didik yang cerdas dan berguna bagi nusa dan bangsa.
Penulis adalah staf departemen informasi dan komunikasi PP Hima Persis periode 2014-2016. Informasi lengkap silahkan klik disini.
Sumber inspirasi
posted by: Data and Information Departement of Hima Persis Cianjur
0 komentar:
Post a Comment